Total Tayangan Halaman

Minggu, 22 Mei 2011

Sejarah Membalut Romantisme


Akhirnya rasa penasaran itu terbayar juga, setelah sebelumnya kami sempet bergelut dengan sejumlah pertanyaan di dalam benak. Apakah benar, lepas dari Jalan Sire Beach dan memasuki kawasan perkampungan kurang lebih dua kilometer merupakan lintasan yang tepat menuju Hotel Tugu Lombok? 


Setelah kira-kira 10 menit bergolak dalam balutan pertanyaan itu, ternyata benar. Kami begitu takjub saat memasuki pelataran Hotel Tugu Lombok yang usianya masih terhitung muda ini.
     Rerumputan hijau terhampar, padahal sebelum tiba disini kami disuguhi suasana pedesaan khas Lombok yang memiliki konstur tanah gersang. Sepertinya  hotel yang penuh  nuansa artistik dan sejarah ini mencoba menyatu dengan kearifan suasana pedesaan di Lombok.
Bukti yang paling kental terlihat ketika kami memasuki lobby hotel. Lobby disini begitu unik karena menonjolkan sejarah lokal yang hampir punah  yaitu  Rumah Ampenan.  Rumah asli yang dibangun pada 1894 ini disulap menjadi lobby sekaligus mascot Hotel Tugu.
Bangunan yang didominasi kayu-kayu tua dengan warna antik ini melambangkan percampuran budaya Arab, Cina, Melayu, dan budaya. Rumah ini   dulunya milik Tuan haji Abdul Kadir warga Kampung Melayu yang merupakan seorang saudagar. Mulai dari keramik, kursi, pintu, meja, tiang, kusen, dan aneka perabot rumah lainnya masih terjaga dengan baik. 
Rata-rata dari 18 kamar  hotel ini juga mengadopsi konsep perkampungan Lombok.  Setiap kamar didesain berbeda lengkap dengan aneka perabotan antik. Namun,  tidak terlepas dari unsur kemewahan dan kenyamanan.
     Di antaranya Bhagavat Gita. Di desain seperti bangunan era kolonial dengan tinggi langit-langit rumbia. Kamar mandi di luar dan memiliki kolam renang yang menghadap ke pntai dengan apsir putihnya.
     Ada juga Aloon-aloon room, ruangan yang berukuran   ukuran 120m2 dan 140m2/unit – masing-masing unit dari bangunan individu dikelilingi  taman tropis dengan areal makan dan santai pribadi, bak mandi cekung dari tembaga yang terbuka ke taman-taman tropis.
     Dan yang tak kalah uniknya, Lombok kampung, dengan ukuran 60m2/unit – didesain dengan karakteristik dari kayu dan bambu, lengkap dengan desa Lombok asli otentik berbaur dengan rumah-rumah mewah modern.
     Pokoknya kalau sudah disini dijamin Anda akan betah berlama-lama dengan pasangan Anda. Apalagi, berada di kawasan pantai Sire yang indah dan alami, rasakan sensasi romantismenya.

Paduan Londo-Jawa



Restoran ini berada dalam satu kompleks dengan Museum Batik Kuno Danar Hadi, di Surakarta, Jawa tengah. Kesan unik dan elegan langsung terasa ketika memasuki ruangan Soga Resto n Lounge ini.

Kepenatan yang menyelimuti badan setelah window shoping di Butik Batik Danar Hadi segera sirna ketika masuk ke Soga Resto n Lounge. Alunan gending Jawa seperti melemaskan otot-otot saraf yang mulai kaku. Sambutan ramah dari pelayan resto menambah kesegaran suasana hati.

Nama-nama hidangan yang ada di menu sungguh unik dan ingin segera mencicipinya. Ada Soep Boentoet Soga yakni sop buntut impor spesial dengan nasi putih dan sambal. Rasanya betul-betul nikmat dan segar. Selain Soep Boentoet Soga, ada juga Sop Pelangi dan Sop Brokoli.

Di resto inipun, Anda bisa mencicipi hidangan yang diberi nama nasi bakar isi sambal terasi. Nasi ini terdiri dari udang, kemangi, disajikan dengan empal daging, tahu tempe bacam, dan sayur asam. Enakkan. Hidangan rawon bakar juga disediakan resto ini. Rawon bakar merupakan masakan khas Solo dengan bumbu kluwek disajikan bersama daging sapi bakar, nasi putih, tempe goreng, dan telur asin.

Untuk makanan ringan yang ada di Soga Resto n Lounge. Anda bisa memilih Kenyo Mesem. Apa itu? Kenyo mesem merupakan kue ubi ketela kukus yang disajikan dengan saus berry dan potongan buah stroberi. Rasanya manis bercampur asam semakin menyegarkan lidah dan mulut.

Hidangan unik lainnya adalah Singkong Londo. Ini merupakan hidangan yang terbuat dari singkong rebus gula merah yang disajikan dengan keju parut dan guyuran sirup strobei. Gurih dan manis terasa begitu nikmat. Lalu, ada juga Pisang Goreng Soga, yakni pisang goreng tepung dengan dibubuhi bubuk kayu manis dan gula jawa.

Untuk jenis minuman yang disajikan di resto ini beraneka macam. Ada Es Djala Dara yang dibuat dari rumput laut, leci, melon, biji selasih, dan sirup pisang dengan ditambahkan es. Sebaiknya pula, Anda mencoba minuman Es Soga. Minuman ini terbuat dari Nanas, cincau, nata de coco, biji selasih, sirup pandan, susu kental manis putih dan es. Semua minuman ini sungguh menyegarkan. PW  

Waisai: Mimpi yang Sempurna



Dari hutan belantar dengan 10 rumah, Waisai tumbuh dengan cepat dengan segala hiruk pikuk kesibukan penduduknya. Kearifan lokal menjadi acuan demi menyelaraskan denyut pembangunan tanpa merusak keindahan alamnya.

Adam hanya bisa terpana saat kakinya menjejak tanah Pulau Waisai untuk pertama kalinya.  Dalam hati dia berkata, “Mau bikin ibukota kabupaten kok kayak main-main sih, jangan-jangan cuma mimpi”.
Adam pantas membatin. Dia menghitung hanya 10 buah rumah yang tampak, selebihnya sepanjang matanya memandang hanya hutan belantara yang terlihat. Rumah-rumah itupun hasil dari program ABRI Masuk Desa (AMD) untuk diberikan kepada penduduk yang didatangkan dari Pulau Waisai. Konon menghunikan Waisai gagal, akibat penduduk pendatang tersebut memilih untuk kembali ke kampung halaman karena tidak kuat dengan kondisi alam di daerah yang baru.
Sebelum dipindahtugaskan dari Sorong ke Raja ampat sebagai PNS, Adam sudah membayangkan bakal menempati kantor dinas pariwisata yang baru. Namun angan-angannya buyar seketika, jangankan kantor dinas, kantor bupati atau kantor pemerintahan lainnya, untuk berjalan pun harus membabat semak belukar terlebih dahulu.
”Bagaimana mau percaya Waisai hutan belantara akan dijadikan ibukota kabupaten Raja Ampat. Orang-orang yang dikasih rumah gratis saja memilih kabur dari Waisai,” ujarnya.
Kenyataannya, keputusan pemisahan Raja Ampat dari kabupaten induk yakni Sorong sudah disetujui pada tahun 2003. Bersama dengan Raja Ampat, tercatat 13 kabupaten baru hasil pemekaran di Papua Barat yang diumumkan secara resmi pada 22 April 2002 lalu.
Waisai hanyalah bagian kecil dari gugusan Kepulauan Raja Ampat yang tercatat memiliki kurang lebih 610 pulau besar dan kecil dengan luas wilayah mencakup 46.000 kilometer yang meliputi 6.000 km2 daratan dan 40.000 km2 lautan. Dari ratusan pulau, hanya  35 pulau yang ada penduduknya dan diantaranya hanya 4 pulau besar yang paling banyak penduduknya yaitu Misool, Salawati, Batanta dan Waigeo dimana terdapat kota Waisai sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Raja Ampat.
Karena hanya ada 10 rumah, para pegawai pemerintahan yang mulai berdatangan harus rela tinggal di tenda-tenda. Sebagai kabupaten baru, Raja ampat hanya diberi waktu satu setengah tahun untuk menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bupati tahun 2005 dan saat yang bersamaan harus membangun infrastruktur dasar. Artinya, baru pada tahun 2006, Raja Ampat memiliki bupati hasil Pilkada.
Di tengah keterbatasan yang ada, Raja Ampat yang berdasarkan sejarah, konon namanya pemberian dari Raja Ternate ketika menjadikan wilayah kepulauan sekitar kepala burung ini sebagai jajahannya, yang berarti jumlah raja-raja kecil yang memimpin di empat gugusan pulau besar yaitu Batanta, Misool, Salawati, serta Waigeo, ini dikaruniakan keindahan alam lautnya.
Keindahan terumbu karang Pulau Raja Ampat bisa dikatakan tidak ada duanya di dunia ini. Terumbu karang di laut Raja Ampat dinilai sebagai terumbu karang terlengkap di dunia. Dari 537 jenis karang dunia, 75 persen di antaranya berada di kawasan ini.  Selain itu, perairan ini memiliki 1.104 jenis ikan, 669 jenis moluska (hewan lunak) dan 537 jenis hewan karang.
Seiring perjalanan waktu, Kepulauan ini  menjadi tujuan para penyelam yang tertarik akan keindahan pemandangan bawah lautnya. Kini untuk menginap di salah satu resort, para wisatawan harus terlebih dahulu pesan tempat enam bulan sebelumnya.
Hanya dalam tempo empat tahun, tepatnya 2010, Waisai telah tumbuh menjadi ibukota kabupaten yang ramai. Kedatangan para  turis telah melahirkan multi player effect bagi Raja Ampat, khususnya Waisai. Berdasarkan data di dinas pariwisata, pada tahun 2009 jumlah wisatawan yang datang sekitar 3.000 orang dengan pendapatan dari sector pariwisata sebesar Rp 6 miliar. Di tahun 2010 ini, hingga bulan November tercatat 6.000 orang wisatawan dengan pemasukan sebesar Rp 9 miliar.
Waisai pun telah menjadi kota yang pantas untuk menyandang beban sebagai ibukota kabupaten. Kantor-kantor pemerintahan telah berdiri, termasuk kantor dinas bupati dan gedung DPRD, gedung KPU, gedung Panwaslu, rumah sakit, perusahaan listrik daerah, gedung sekolah serta gedung-gedung perkantoran lainnya milik swasta termasuk hotel damn tak lupa jalan-jalan dengan model betonisasi memanjang bak ular raksasa membelah Waisasi ke segala penjuru.
Namun semua itu terwujud tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Hutan belantara yang masih perawan dan geografis yang berbukit, tentu menjadi tantangan yang tak mudah untuk ditaklukkan. Belum lagi alat-alat berat yang harus didatangkan dari Sorong melalui jalur laut. Bicara soal laut tentulah berbicara soal cuaca di tanah Papua yang umumnya tidak menentu. Cuaca di Sorong yang cerah belum tentu sama di Waisai, malah kerap kali ditengah perjalanan cuaca berubah dan kondisi laut yang tenang berubah menjadi gelombang yang tingginya bisa mencapai 3 meter.
Membangun dari nol kilometer, begitulah kondisi Waisai. Bukit-bukit pun dibelah dan pohon-pohon dari hutan perawan pun terpaksa ditebang. Konsekuensi pahit yang harus ditelan demi sebuah pembangunan. Namun bukan berarti main tebang dan pangkas bukit semata, Waisai dan umumnya Raja Ampat, masuk dalam wilayah konservasi dan cagar alam. Sehingga sorotan tidak saja datang dari pemerintah pusat dan LSM pemerhati lingkungan hidup, tapi juga dari lembaga-lambaga internasional.
Konsep kearifan lokal pun menjadi jawaban dalam menyelaraskan jalannya pembangunan, sehingga kedua belah pihak saling member dukungan dan bukan sebaliknya saling bertentangan. Toh sejatinya pembangunan Waisai menjadi ibukota kabupaten bukanlah semata-mata ditujukan buat  pihak-pihak yang mendukung atau yang menolak, tapi memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat dengan tetap menjaga kelestarian hutan dan segala mahluk yang dihidup didalamnya.
Melihat terus meningkatnya jumlah wisatawan yang datang, pemerintah Raja Ampat pun mulai membangun bandar udara di Waisai. Bila terealisir, bandara ini nantinya mampu didarati oleh pesawat kecil, sehingga wisatawan asing dari Bali bisa langsung mendarat di Waisai. Dari hasil studi yang dilakukan menunjukkan bahwa pembangunan bandar udara layak untuk dilakukan.
Melihat begitu cepatnya perubahan yang terjadi, lagi-lagi Adam cuma bisa menggelengkan kepala seakan tidak percaya. “Dulu hanya ada hutan belantara dengan 10 rumah, kini semua orang ingin datang dan menetap di Waisai. Seperti dalam mimpi,” ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. *** OSP




Menginap di Mana


Penginapan                                                    Tarif
                                    Standart                     VIP

Najwa Indah                      Rp. 400.000                        Rp. 500.000
Waisai Indah                      Rp. 225.000                        Rp. 275.000
Marcy                                    Rp. 300.000

Raja Ampat: My Life, My Dreams…




Tak ada kata yang bisa melukiskan keindahan Raja Ampat, selain menikmatinya secara langsung.

Ayam jantan belum lagi terdengar berkokok, saat pesawat yang kami tumpangi melesat cepat meninggalkan gelapnya Jakarta. Dalam kabin, hanya deru mesin yang terdengar. Tak ubahnya lagu peneman tidur para penumpang, termasuk kami tentunya, yang mencoba memejamkan mata untuk membunuh rasa kantuk. Harap maklum, para penumpang rata-rata sudah tiba di bandara antara pukul 02.00 atau 03.00 untuk penerbangan jam 04.00.
Raja Ampat adalah akhir dari perjalanan ini. Namun sebelum sampai di sana, pesawat harus terlebih dahulu mendarat di Bandara Hasanuddin, Makassar selama 30 menit dan kembali terbang menuju Sorong, Papua. Setelah menempuh enam jam perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta, Jakarta, akhirnya roda pesawat menyentuh aspal Bandara Domne Eduar d Osok, Sorong, dengan mulus.
Berhubung perut lapar karena pesawat berangkat dari Jakarta pukul 04.00 WIB, sebelum menuju pelabuhan untuk menyeberang, kami mampir terlebih dahulu di restoran Pondok Bambu. Menunya siang itu ikan baronang bakar, cah kangkung dan kepiting saos tiram dengan makanan pembuka sup asparagus. Maknyusss.
Setelah perut penuh terisi, perjalanan dilanjutkan menuju Pelabuhan Klalin, yang berlokasi di Desa Klauyuk. Sebuah speedboat telah menanti kedatangan kami. Dari pelabuhan tradisional ini, speedboat bergerak menyelusuri sungai Klalin yang berkelok-kelok. Airnya yang hijau kecoklatan dan hutan mangrove di kanan dan kiri sungai membuat perjalanan jauh dari hal yang menjemukan. Apalagi kecepatan speedboat acap kali diturunkan saat berpapasan dengan perahu-perahu kecil milik rakyat setempat. Karena terjadi berulang-ulang, tentu menimbulkan pertanyaan mengapa kapal berjalan lambat. Ternyata ombak yang diciptakan dari pergerakan speedboat dapat membuat perahu kecil terbalik. “Kalau sampai terbalik, si pemilik perahu bisa tuntut kita satu miliar,” ujar Ruslan, warga Sorong kelahiran Bugis yang menemani kami sepanjang perjalanan.
Setelah hampir 30 menit menyusuri keindahan sungai Klalin dengan hutan mangrove-nya, yang sunyi, speedboat membawa kami masuk dalam keramaian pelabuhan Sorong dengan kapal-kapal besarnya, termasuk jejeran kapal-kapal Pinisi dan perahu-perahu kecil bermesin tempel sebagai moda sarana antar pulau bagi penduduk.
Selepas dari kawasan pelabuhan, speedboat melaju dengan kekuatan penuh menuju Waisai, Kota Kabupaten Raja Ampat. Untuk sampai di Waisai membutuhkan waktu 2 jam atau lebih tergantung cuaca. Beruntung selama perjalanan cuaca begitu cerah, sehingga ombak laut tidak terlalu tinggi untuk dilalui. “Kalau cuaca sedang tidak bagus ombak bisa setinggi 2 sampai 3 meter,” ujar Ose, awak speedboat.
Setelah satu jam perjalanan, gugusan kepulauan Raja Ampat mulai terlihat.  Waisai yang dituju semakin dekat. Tak berapa lama, speedboat menurunkan kecepatannya dan akhirnya bersandar di pelabuhan rakyat yang lokasinya tak seberapa jauh dari Pantai Waisai Tercinta.
Seakan tak ingin membuang-buang waktu, check in di Hotel Maras Risen dan menaruh barang bawaan. Kami pun bergegas kembali ke speedboat untuk mulai menjelajahi keindahan Raja Ampat yang mendunia itu. Apalagi hari masih siang, sekitar jam 14.00 waktu setempat, ditambah matahari yang bersinar cerah tentu rugi untuk dilewatkan begitu saja meski hanya sekedar bersnorkeling ria.
Tujuan pertama adalah Pulau Saonek Monde (Kecil) sebagai pemanasan. Pulau yang berada tepat di depan dermaga Waisai ini sangat cocok bagi para pemula yang ingin bersnorkeling, karena ombaknya tidak terlalu besar. Meski taman lautnya kalah jauh dibandingkan pulau-pulau lain di Raja Ampat, namun tetap memiliki keunikan yakni keberadaan mandarin fish.
Disebut mandarin fish, karena ikan ini memiliki warna biru, merah dan orange sehingga mirip dengan corak motif China. Keunikan lainnya, ikan ini hanya muncul pada jam-jam tertentu yakni antara 17.00-18.00 secara bergerombol.
Setelah pemanasan dirasakan cukup, kami pun berpindah tempat ke perairan di sekitar Pulau Mansuar. Namun baru saja mesin speedboat dimatikan, perlahan cuaca yang semula cerah mulai berubah mendung. Laut yang semula tenang, mulai bergolak. Kalau sudah begini snorkeling tidak lagi nyaman untuk dilakukan. Bila tidak terlalu mahir, bisa-bisa air laut bakal tertelan. Nah kalau sudah begini kondisinya, janganlah panik. Sebab kepanikan justru akan membuat Anda semakin kembung karena menelan begitu banyak air laut.
Setidaknya begitulah kondisi yang dialami oleh rekan perjalanan kami. Bermaksud untuk memotret keindahan alam bawah air Raja Ampat, dengan perlengkapan snorkeling dan kamera, dirinya langsung menceburkan diri ke dalam birunya air laut. Awalnya berjalan normal, namun kondisi berubah mencekam ketika laut yang tenang mulai bergelombang tinggi. Tubuhnya sempat terombang-ambing, usahanya untuk kembali ke kapal terasa sia-sia saat ombak justru membawanya menjauh. Melihat kondisi tersebut, satu-satunya jalan adalah speedboat yang bergerak mendekati dan menariknya kembali ke dalam kapal. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan.   
Melihat gelombang laut kian tak bersahabat dan kondisi teman yang shock, diputuskan untuk kembali pulang ke Waisai. Sebagai informasi, cuaca di Raja Ampat dapat berubah dengan cepat. Itu terjadi saat ketika kami menuju Teluk Kabui. Teluk yang berada di Pulau Waigeo dan berhadapan dengan Pulau Gam, ini dari kejauhan tampak gumpalan kabut yang teramat pekat mulai dari tanah hingga menembus awan. Sebuah pemandangan yang menakjubkan. Namun itu bukanlah kabut, melainkan hujan yang tercurah dengan derasnya. Saat speedboat melewatinya, meski hanya berjarak beberapa meter saja ternyata tidak membasahi.
Setidaknya begitulah gambaran yang kami dapat selama sepekan berada di Raja Ampat. Kepulauan ini merupakan rangkaian empat gugusan pulau yang berdekatan dan berlokasi di barat bagian Kepala Burung (Vogelkoop) Pulau Papua. Ke empat gugusan pulau besar tersebut yakni Pulau Waigeo, Pulau Misool, Pulau Salawati dan Pulau Batanta.
Dunia mengakui bahwa Raja Ampat memiliki terumbu karang terlengkap di dunia. Dari 537 jenis karang dunia, 75 persen diantaranya berada di kawasan ini. Hal yang tak kalah mengagumkannya, terdapat hamparan terumbu karang yang dapat bertahan hidup meski air laut tengah surut, berada di udara terbuka dan terpanggang langsung sinar matahari. Pemandangan yang indah ini dapat ditemukan di Kampung Saondarek saat air laut surut, sehingga para wisatawan tak berlu bersusah payah untuk menyelam.
Itu baru terumbu karang, belum biota lautnya, tercatat diperairan ini memiliki 1.104 jenis ikan, 669 jenis moluska (hewan lunak) dan 537 jenis hewan karang. Beberapa diantaranya yakni  kuda laut katai, wobbegong (hiu karpet), ikan pari Manta, ikan tuna darin jenis giant trevallies dan snappers, ikan barakuda dan Eviota raja, yaitu sejenis ikan gobbie yang merupakan ikan endemik Raja Ampat serta Dugong (ikan duyung).
Kehidupan mahluk didaratannya pun tak kalah indah.  Pulau Raja Ampat juga memiliki hewan-hewan unik seperti Cendrawasih Merah, Cendrawasih Wilson, Maleo Waigeo, Kuskus Waigeo, beraneka Burung Nuri dan Kakatua. Untuk tumbuhan, beragam jenis anggrek menjadi daya tarik bagi para pecintanya.
Dengan semua keindahan yang dimiliki, tak hanya wisatawan atau para penggila dunia bawah laut saja yang datang berbondong-bondong datang dan rela menunggu selama satu minggu untuk bisa menginap di cottage-cottage di beberapa pulau di Raja Ampat. Para pemimpin dan kesohor dunia pun rela terbang bermil-mil jauhnya untuk datang ke Raja Ampat. Terakhir, sekitar bulan Agustus lalu, Keluarga Kerajaan Monako datang berkunjung dengan menggunakan pesawat terbang pribadi dan tinggal selama seminggu lebih di perairan Raja Ampat. 
Keindahan Raja Ampat telah membius dunia. Adakah yang mampu menolak godaannya. *** OSP


JUST INFO

1.    Jakarta – Sorong, setiap hari dilayani oleh tiga maskapai penerbangan, yakni Wings Air, Merpati dan Express Air dengan transit di Makassar. Khusus Lions Air  hanya melayani sampai Makassar dan berganti pesawat Wings untuk ke Sorong, begitu pula sebaliknya. Harga tiket berkisar antara Rp 2,5 juta – Rp 4 juta (PP) dan tergantung season. Untuk memastikannya dapat klik  website masing-masing maskapai.
2.    Sorong – Raja Ampat, hanya dapat ditempuh dengan transportasi laut. Tersedia dua jenis moda yakni
-          Sekali jalan seperti kapal feri biasa  4 jam perjalanan (Rp 150.000/orang) atau kapal cepat 3 jam perjalanan (Rp. 120.000/orang).
-          Sewa speedboat berkapasitas 8-12 orang Rp. 5 juta sekali jalan atau dengan Pinisi berkisar Rp  240 juta untuk satu bulan pelayaran.
3.    Penginapan, banyak terdapat di Raja Ampat, seperti di Pulau Waisai, Pulau Mansuar, Pulau Batanta, Pulau Batbitem. Tarifnya mulai dari Rp 250 ribu hingga 1.500 euro/orang (paket 7 hari dan tidak termasuk airfares).
4.    Diving, untuk satu kali penyelaman dikenakan biaya sekitar 30 euro atau Rp. 360.000.
5.    Iklim: Tropis yang lembab dan basah  dengan suhu terendah 22,4°C dan suhu tertinggi 32,5°C. perubahan musim dari kemarau ke penghujan tidak menentu. Curah hujan sebesar 2.000 mm/tahun.







Starlight: Tempat Nongrong Anak Gaul Sorong


Mengusung konsep one stop entertainment, Starlight memanjakan para konsumennya.



Setelah puas, kata yang paling tepat: tidak pernah puas, menyelami keindahan alam laut Raja Ampat, kami pun harus meninggalkannya dengan speedboat menuju Sorong. Kaki kami pun kembali menginjak pelabuhan tradisonal Klaling saat sore menjelang.
Di kota yang berasal dari kata Soren, dalam bahasa Biak Numfor yang berarti laut yang daIam dan bergelombang, kami menginap 2 hari. Di kota yang menjadi pintu keluar masuk Provinsi Papua dan Kota Persinggahan, ini suasananya begitu berbeda dengan kota-kota di Papua lainnya. Lebih terbuka dan lebih, maklum Sorong juga tumbuh menjadi kota industri, perdagangan dan jasa.
Sehabis beres-beres, kami pun menyambangi Tembok Berlin, begitu rekan kami di Sorong menyebutnya. Tembok berlin merupakan salah satu pusat kuliner di Sorong. Beragam jenis makanan tersedia mulai dari seafood hingga makanan khas manado dengan paniki-nya. Lantas mengapa disebut tembok berlin? Karea pusat jajanan ini berada di pinggir laut dan hanya dibatasi dengan tembok.
Maknyus makanan yang kami santap malam itu. Menunya ikan baronang bakar, kepiting saos tiram ukuran besar dan udang rebus. Benar-benar menggugah selera. Setelah perut terisi penuh, acara kami lanjutkan menuju pusat hiburan malam di kota yang penuh dengan sisa-sisa peninggalan sejarah bekas perusahaan minyak milik Belanda (Heritage Nederlands Neuw Guinea Maschcapeij/NNGPM).
Tak sampai 30 menit, kami pun tiba disebuah bangunan dengan sentuhan rowami pada bagian depannya. Gedung tanpa papan nama ini ternyata Starlight. Sebuah pusat hiburan malam terlengkap dan termegah tidak saja di Sorong, tapi juga di Papua.
Gedung berlantai empat ini, memang benar-benar diniatkan oleh pengelolannya menjadi pusat hiburan (one stop entertainment). Kami tiba sekitar jam 22.00 waktu setempat dan langsung menuju lantai 2 yakni ruang diskotik. Setibanya di sana ternyata masih kosong melompong, hanya beberapa staf saja yang terlihat tengah sibuk mempersiapkan peralatan musik. “Boss terlalu pagi datangnya,” ujar salah satu staf Straligth.
Istilah pagi memang dikenal dalam dunia hiburan malam. Ketimbang bengong, kami pun sepakat untuk menjajal setiap wahana yang ada di Starlight. Pertama-tama kami main billiard di lantai 1 dengan harga sewa Rp 40.000/jam (malam) dan Rp. 20.000/jam (siang). Berhubung bukan pemain billiard professional, kami pun bermain bola 9. Satu kali permainan kami habiskan waktu 20 menit. Sekali lagi harap maklum.
Agar ingin rileks tanpa ada gangguan, mengapa tidak memilih bermain billiard diruangan VIP. Hanya ada satu meja, dan bisa karaoke. Cuma harganya lumayan mahal, dibandingkan yang diruangan biasa.
Puas bermain billiard dan waktu sudah menunjukkan 23.00, kami pun berianjak menuju lantai 2. Benar saja, ruang diskotik mulai dipadati para kawula muda Sorong. Di atas panggung grup band asal Makassar tengah performing dengan lagu-lagu yang menghentak. Ditambah kepulan asap rokok kian panaslah suasana ruangan. Setelah membawakan beberapa lagu, suasana berganti dengan dentuman musik dari Dj yang membuat para tamu bergoyang.
Puas di lantai 2, kami pun beranjak ke lantai 3. Waktunya berkaraoke.kami memilih China Room, salah satu room dari 8 room tematik yang ada. Diantaranya Jepang, Italia, Paris, New York, Afrika, Papua dan Starlight.
Ditemani dua orang gadis pemandu lagu, setidaknya memudahkan kami untuk tidak repot-repot memilih lagu, ternyata lengkap juga catalog lagunya. Mulai yang sedang in hingga lagu-lagu lawas. Pun dengan sound systemnya yang jernih terdengarnya. Satu demi satu lagu mengalun dengan sukses meski terdengar sedikit sumbang. Tapi siapa yang perduli yang penting nyanyi sampai suara serak, mulai lagu yang melankolis hingga rock.
Tanpa terasa dua jam sudah kami menjelma menjadi once, gleen fredly atau pasha ungu. Jam sudah 02.00, waktunya untuk kembali ke hotel. Sayangnya satu wahana yang belum sempat kami jajal yakni massage. Padahal menurut pengelolanya, Susi, terapisnya sangat terampil dan terseleksi meski hanya massage tradisional. Tapi tidaklah mengapa, lagian mana enak massage jam 02.00, bisa-bisa kami pindah tempat tidur.
Menurut Susi, Starlight yang sudah berdiri sejak tahun 2007 memang diniatkan untuk menjadi pusat hiburan terlengkap di Sorong dan Papua, sehingga para tamu yang datang tidak perlu repot-repot untuk mencari hiburan ke tempat lain.
Bahkan kedepannya, menurutnya, manajem Starlight akan membangun hotel di lokasi yang sama. Tujuannya apalagi kalau bukan ingin memanjakan para tamu yang datang ke Sorong. *** OSP

Sabtu, 07 Mei 2011

Makna Tato Bagi Suku Dayak Kalimantan

Tato memang sudah menjadi trend di dunia luar sana, jadi simbol kebebasan memodif diri dan tubuh, tapi di negara kita Indonesia tato sudah ada sejak dahulu.
Jangan terkejut jika masuk ke perkampungan masyarakat Dayak dan berjumpa dengan orang-orang tua yang dihiasi berbagai macam tato indah di beberapa bagian tubuhnya. Tato bagi masyarakat Dayak bukan sekadar hiasan, tetapi memiliki makna yang sangat mendalam.

Sebab tato bagi masyarakat Dayak tidak boleh dibuat sesuka hati sebab ia adalah sebahagian dari tradisi, status sosial seseorang dalam masyarakat, serta sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang.
Oleh karena itu, ada peraturan tertentu dalam pembuatan tato baik pilihan gambarnya, struktur sosial seseorang yang memakai tato maupun penempatan tatonya.
Meskipun demikian, secara realitasnya tato memiliki makna sama dalam masyarakat Dayak, yakni sebagai “obor” dalam perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWdLy6DDet1ABJX4rsBmrUJaoAlcH8B76z8Izun-WiePcidrFLid7Myfag29zHRj1MdIIzFDyNwdwiY3faupINzlQgsSdeLdpjDjjgdVCtC3af3XhuhFKNnaYLg1IhVdVtmOA5DXhmvQQ/s640/tato-dayak.jpg
Bagi suku Dayak yang tinggal di sekitar Kalimantan dan Sarawak Malaysia, tato di sekitar jari tangan menunjukkan orang tersebut suku yang suka menolong seperti ahli pengobatan. Semakin banyak tatoo di tangannya, menunjukkan orang itu semakin banyak menolong dan semakin arif dalam ilmu pengobatan.
Bagi masyarakat Dayak Kenya dan Dayak Kayan di Kalimantan Timur, banyaknya tato menggambarkan orang tersebut sudah kuat mengembara. Setiap kampung memiliki motif tato yang berbeda, banyaknya tato menandakan pemiliknya sudah mengunjungi banyak kampung.
http://www.photojournale.com/data/media/175/tatto_hand_1.jpg
Berbeda pula dengan golongan bangsawan yang mamakai tato, motif yang lazim untuk kalangan bangsawan adalah burung enggang yakni burung endemik Kalimantan yang dikeramatkan.
Ada pula tato yang dibuat di bagian paha. Bagi perempuan Dayak memiliki tatoo di bagian paha status sosialnya sangat tinggi dan biasanya dilengkapi gelang di bahagian bawah betis.
Motif tato di bagian paha biasanya juga menyerupai simbol tato berbentuk muka harimau. Perbedaannya dengan tato di tangan, ada garis melintang pada betis yang dinamakan nang klinge.
http://s4.hubimg.com/u/1944739_f520.jpg
Tatoo sangat jarang ditemui di bagian lutut. Meskipun demikian, ada juga tatoo di bagian lutut pada lelaki dan perempuan yang biasanya dibuat pada bagian akhir pembuatan tato di badan. Tato yang dibuat di atas lutut dan melingkar hingga ke betis menyerupai ular, sebenarnya anjing jadi-jadian atau disebut tuang buvong asu.

Mengintip Pesona Dayak Masa Kini

Kebudayaan di Indonesia memang beraneka ragam. Benarlah jika Bhineka Tunggal Ika, dijadikan semboyan bangsa Indonesia yang kaya akan pesona budayanya. Salah satunya adalah Suku Dayak.
Jika Amerika Serikat memiliki suku Indian yang ternama itu, Indonesia juga tak kalah. Negara ini memiliki berbagai macam suku dan adat istiadat yang menarik untuk ditelisik.
Salah satunya adalah Suku Dayak. Suku asli Kalimantan ini bisa dibilang sebagai Indian nya Indonesia. Perbandingan memang tak berdasar. Namun, sebagian masyarakat kerap membandingkan Dayak dan Indian yang berada jauh di sana.
Mungkin karena awalnya suku Dayak memiliki keunikan dalam pakaian adat. Lalu berkembang kemudian soal rumah tinggal, adat istiadat, sistem sosial, dan kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari. Namun, seiring perkembangan zaman, kebudayaanDayak juga mengalami pergeseran.

Salah satu dusun suku Dayak terdapat di Nanga Nyabo, tepatnya di Kapuas Hulu. Pada zaman dahulu, di sini masih lengket dengan kebudayaan asli, dari rumah tinggal, perilaku,hukum adat hingga busana sehari-hari.
Kini, daerah di sini hampir sama dengan daerah lainnya di pulau Kalimantan. Mungkin hukum adat masih berlaku di sana. Tetapi, soal pakaian tradisional yang dulunya dikenakan sehari-hari,kini telah berubah.

Lihat saja, anak-anak Dayak yang tinggal di Nanga Nyabo, tak ubahnya seperti bocah zaman sekarang, yang mengenakan pakaian biasa.
Yang unik adalah, mereka masih tinggal di rumah Betang. Rumah Betang merupakan rumah adat asli suku Dayak.
Rumah Betang tak jauh berbeda dengan Rumah Panggung. Dasar rumah dibuat dari kayu atau bambu. Bentuk rumah memanjang, dengan bagian depan yang dibuat bertingkat.
Rumah Betang terlihat berupa bangunan tinggi dari permukaan tanah. Konon, hal ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang meresahkan para penghuni, seperti menghindari musuh yang dapat datang tiba-tiba, binatang buas, ataupun banjir yang terkadang melanda.
Sebuah rumah Betang bisa ditinggali oleh beberapa keluarga. Karena struktur bangunan yang memanjang dan luas. Namun, banyak juga dari mereka yang memilih untuk tinggal sekeluarga saja.

Mata pencaharian Suku Dayak kebanyakan adalah nelayan dan petani. Karena tempat ini dekat dengan Sungai Kapuas dan juga perkebunan.
Inilah Suku Dayak masa kini. Sedikit demi sedikit mereka mulai meninggalkan mitos-mitos yang dulu sempat ada di masa lalu. Tetapi di balik kehidupan modern, masyarakat Suku Dayak tetap memegang teguh adat-istiadat mereka, tentunya dengan perkembangan yang positif di masa kini.