Total Tayangan Halaman

Selasa, 03 Mei 2011

The Last China Town

Tak berlebihan rasanya menyebut Singkawang sebagai Chinatown sejati di Indonesia. Dari total populasinya yang mencapai 190 ribu jiwa, hampir separuhnya beretnis Tionghoa. Sementara di atas tanahnya yang seluas 50 ribu hektare berdiri 600 kelenteng, hingga kota ini pun dijuluki Kota Seribu Kelenteng. Karena itu pula, jangan heran jika tiap ritual berbau Cina, sebut saja Tahun Baru Cina dan Cap Gomeh, selalu dirayakan sangat meriah, jauh lebih meriah dibanding Pecinan lain di seantero Indonesia. Merujuk akta kelahirannya, nama  Singkawang resmi disematkan pada 1981. Dulu, sekitar abad ke-18, kota  pesisir ini merupakan tempat persing-gahan para pekerja tambang dari Guangdong, provinsi di tenggara Cina. Mereka kerap menyebut Singkawang “San Kew Jong”. lokasi tambang emas terpusat di Monterado (konon merupakan pelafalan lokal dari lokasi tambang di Amerika, Mount Eldorado). Para pekerja Cina diimpor Sultan Sambas karena dianggap lebih berpenga-laman dan unggul dalam teknologi pertambangan. Hingga kini, orang-orang dari Cina masih kerap berdatangan, namun bukan sebagai pemburu emas, melainkan perantau dan pedagang. Saya mengunjungi Singkawang saat para warganya sibuk mempersiapkan perayaan Cap Gomeh, ritual yang digelar 15 hari pasca-Imlek dan telah masuk kalender budaya nasional. Saya tidak sendirian. Ratusan turis dari luar kota dan luar negeri juga berdatangan hingga membuat seluruh kamar hotel penuh terisi. lewat Cap Gomeh, setidaknya sekali dalam setahun, nama Singkawang bergema di panggung nasional.
PANTAI RESIK berpasir kecokelatan terbentang di barat Borneo. Nyiur yang tumbuh lurus dan melengkung menjadi pagar yang memisahkannya dari daratan. Singkawang mengoleksi banyak pantai cantik, di antaranya Pasir Panjang Indah di selatan, Palm Beach, serta Teluk Karang di utara. Seperti di Bangka Belitung, pantai-pantai di sini juga ditumbuhi bebatuan granit raksasa. Secara geologis, bebatuan granit ini terbentuk dari bekuan magma tipe asam, yang terangkat ke permukaan oleh tekanan gaya kompresi selama ribuan atau bahkan jutaan tahun. udara tropis lalu menempa mereka, hingga menjadikannya bongkahan-bongkahan indah layaknya menhir di komik Asterix. Di atas laut tenang terlihat jajaran pulau-pulau mungil yang seolah menjadi gerbang menuju Tiongkok Selatan, 3.000 kilometer di utara. Sampan-sampan nelayan berlabuh di pesisir. Perahu mereka yang dicat warna-warni sengaja tidak dilengkapi cadik agar  dapat bergerak lincah di lautan. Mesinnya bermerek Don Feng 15 pk, kapasitas kecil yang hanya cocok untuk mengarungi laut di dekat pantai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar