Total Tayangan Halaman

Selasa, 03 Mei 2011

Saintly Suro

Mengenakan kostum laskar Kerajaan Mataram Islam, sekitar 500 orang berparade di jalan lalu mendaki ratusan anak tangga menuju makam keramat para raja guna mendapatkan berkah. Kuntarini Rahsilawati menyaksikan Kirab Budaya Imogiri, salah satu festival terbesar di selatan Yogyakarta untuk menyambut tahun baru Islam.
Angin sejuk persawahan menembus jendela bus jurusan Yogyakarta-Imogiri. Sebagian besar kursi terisi ibu-ibu pedagang yang mengenakan kebaya. Sopir mengurangi kecepatan saat kendaraan melewati sekelompok remaja yang sedang bermain drum. Atmosfer festival mulai terasa.
Besok, Jumat Kliwon, adalah hari pertama di bulan Suro dan Muharam, tahun baru dalam kalender Jawa dan Islam, sekaligus waktu sakral untuk menggelar upacara Nguras Enceh (menguras gentong keramat) di kompleks Makam Pajimatan, Imogiri. Untuk menyambutnya, maka di hari ini, Kamis Wage, warga mengadakan upacara Ngarak Siwur (mengarak gayung kelapa). Kedua upacara ini menjadi bagian dari tradisi akbar tahunan Kirab Budaya Imogiri.
Kecamatan Imogiri terletak di Kabupaten Bantul, sekitar 11 kilometer sisi selatan pusat kota Yogyakarta. Legenda mengatakan wilayah ini dipilih Raja Mataram Islam Sultan Agung sebagai tempat persemayaman terakhir bagi raja-raja dalam silsilah Mataram. Konon, sang sultan yang dikenal sakti melesat ke Mekkah pada Jumat lalu sujud di sana. Ia melemparkan pasir dari Tanah Suci yang kemudian jatuh di Pegunungan Merak. Di tempat inilah kemudian makam para ningrat dibangun.
Menurut warga setempat, pembangunan makam ini juga merupakan bagian strategi pendidikan keprajuritan dalam rangka penyerangan ke Batavia. Itu sebabnya banyak desa di sekitar Imogiri memakai nama-nama prajurit keraton.
Berdiri di abad ke-15, Kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Keraton Surakarta Hadiningrat pada 1755. Kekuasaan di Yogyakarta kemudian terbagi lagi berkat kehadiran Kadipaten Pakualaman, sementara di Surakarta muncul Mangkunegaran. Walau tidak berjaya seperti dulu, kerajaan-kerajaan hasil pecahan ini masih hidup dan menjadi daya tarik wisata sejarah.
Meski kerajaannya tercerai-berai, para raja tetap dimakamkan di Imogiri. Kuburan para penguasa Mataram (Sultan Agung dan Susuhu-nan Paku Buwono I) berada di undakan ter-tinggi, sedangkan raja-raja Surakarta di sayap sebelah kiri dan raja-raja Yogyakarta di sebelah kanan. Daya tarik kompleks makam ini adalah tangga yang menjulang curam dari pelataran hingga ke gerbang utama yang berarsitektur Hindu. Menurut mitos, siapa pun yang bisa menghitung anak tangga dengan akurat bakal mendapatkan berkah. Tapi, karena jumlahnya sangat banyak, pengunjung biasanya kelelahan di tengah pendakian dan kehilangan konsentrasi. Beberapa sumber mengklaim jumlahnya mencapai 364 anak tangga.
Terik siang bolong memaksa saya beringsut ke bawah pohon. Penonton sabar menanti sembari bersenda gurau. Lalu muncullah orang-orang dengan kostum warna-warni. Jumlahnya ratusan. Mereka berbaris rapi di bawah sinar mentari.
Kirab Budaya Imogiri diprakarsai oleh Forum Cinta Budaya Bangsa (FORCIBB), organisasi yang didirikan masyarakat lintas budaya dan agama guna mempersatukan rakyat Imogiri dan memajukan budaya setempat. Organisasi ini lahir dari kepriha-tinan atas konflik kekuasaan yang terjadi pascatumbangnya presiden Soeharto di 2008. Pertarungan untuk merebut kursi-kursi basah di Jakarta ternyata merembet hingga ke pedalaman Yogyakarta dan meresahkan warga. Lewat festival budaya, FORCIBB ingin merekatkan solidaritas sosial yang renggang di Imogiri. Awalnya, Kirab Budaya didanai secara swadaya oleh masyarakat, tapi kemudian banyak sponsor yang tertarik memberikan dana dan pemerintah daerah pun turut memberi dukungan berupa tempat perhelatan.
Kirab diawali dengan iring-iringan pembawa duaja (bendera) Imogiri, diikuti bregodo (laskar) pembawa rontek (banner), bregodo pembawa gunungan, bregodo pembawa siwur, bregodo abdi dalam keraton Yogya dan Surakarta, dan bregodo dari masing-masing desa di Kecamatan Imogiri. Mitos wanita Jawa selalu lemah lembut dipatahkan oleh kehadiran bregodo prajurit wanita “Puspita Sari” yang menggenggam senjata-senjata replika berbahan kertas. Para ”mbakyu” ini tetap berbusana anggun meski sikap tubuh mereka siap tempur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar